Juga hanya dengan melepasmu melahap semua pesona dan gairah, kau akhirnya tahu bahwa untukmu, akulah yang terindah.
Di puncak lelah, kau pun pulang ke rumah. Tapi aku tak merasa jadi
penunggu tempat sampah. Justru ini bukti keberanianku menjajal kualitas
dengan siapa saja yang bisa kau temukan di luar sana.
Dunia memang tempat yang panas, membuatmu mendidih, hilang menguap
seperti dihisap awang-awang. Tapi biarlah kau pergi seperti uap, karena
kutahu, langit tanpa batas akan membuatmu kesepian, dan kau pun pulang
sebagai hujan. Kemudian aku menari di bawah curahmu, dengan kemarau
rindu yang kering meretak. Tarianku lincah, liukanku indah, seperti
pertama dulu, karena hujan selalu saja baru.
Kulepas kau mengikuti kembara rintik, merontokkan dirinya sendiri ke
bumi, agar bisa mengenali samudera, menyegarkan dedaunan, membasahi
pucuk ilalang.
Aku tak perlu merasa terhina menerima seorang yang kalah, karena itu
berarti akulah pemenangnya. Lagi pula ini bukanlah pertarungan.
Ini karena kita lebih dekat dari pertalian darah, membentuk keesaan
dan trinitas sekaligus: aku, kau, kita. Kita satu sama lain, seperti
bulan memantul di arus air, yang sesungguhnya adalah sinar mentari yang
satu.
Menerimamu pulang, dengan segala kehampaan dan noda yang melumurimu,
adalah membiarkan jiwaku kembali utuh, menemukan bagiannya yang hilang.
Membersihkan lumpur di wajahmu adalah menyelamatkan takdir kita, yang
tak akan kubiarkan kalah hanya oleh noda, kemarahan, dendam, harga diri,
apalagi cemoohan oranglain.
Kau sendiri terperangah, menatapku tengadah, hampir tak percaya ada
cinta yang begitu indah, menyemburkan maaf yang melimpah ruah. Kemudian
kau berlutut, terbata menyatakan penyesalan, perilaku khas orang yang
kalah.
Aku tak marah. Sama sekali tidak. Agak cemas saja. Mudah-mudahan kau
tak pernah tahu, sementara menunggumu pulang, entah dari langit mana,
aku telah mandi hujan di mana-mana. Kau sepertinya lupa, dari dulu aku
memang paling suka menari di bawah hujan, tentu saja tanpa sehelaipun
pakaian…
Sini gerimisku yang lucu, cepat basahi aku… Bukankah bagimu aku terlihat begitu kemarau?
Pergilah Seperti Uap, Karena Kutau Kau Akan Kembali Sebagai Hujan
Juga hanya dengan melepasmu melahap semua pesona dan gairah, kau akhirnya tahu bahwa untukmu, akulah yang terindah.
Di puncak lelah, kau pun pulang ke rumah. Tapi aku tak merasa jadi
penunggu tempat sampah. Justru ini bukti keberanianku menjajal kualitas
dengan siapa saja yang bisa kau temukan di luar sana.
Dunia memang tempat yang panas, membuatmu mendidih, hilang menguap
seperti dihisap awang-awang. Tapi biarlah kau pergi seperti uap, karena
kutahu, langit tanpa batas akan membuatmu kesepian, dan kau pun pulang
sebagai hujan. Kemudian aku menari di bawah curahmu, dengan kemarau
rindu yang kering meretak. Tarianku lincah, liukanku indah, seperti
pertama dulu, karena hujan selalu saja baru.
Kulepas kau mengikuti kembara rintik, merontokkan dirinya sendiri ke
bumi, agar bisa mengenali samudera, menyegarkan dedaunan, membasahi
pucuk ilalang.
Aku tak perlu merasa terhina menerima seorang yang kalah, karena itu
berarti akulah pemenangnya. Lagi pula ini bukanlah pertarungan.
Ini karena kita lebih dekat dari pertalian darah, membentuk keesaan
dan trinitas sekaligus: aku, kau, kita. Kita satu sama lain, seperti
bulan memantul di arus air, yang sesungguhnya adalah sinar mentari yang
satu.
Menerimamu pulang, dengan segala kehampaan dan noda yang melumurimu,
adalah membiarkan jiwaku kembali utuh, menemukan bagiannya yang hilang.
Membersihkan lumpur di wajahmu adalah menyelamatkan takdir kita, yang
tak akan kubiarkan kalah hanya oleh noda, kemarahan, dendam, harga diri,
apalagi cemoohan oranglain.
Kau sendiri terperangah, menatapku tengadah, hampir tak percaya ada
cinta yang begitu indah, menyemburkan maaf yang melimpah ruah. Kemudian
kau berlutut, terbata menyatakan penyesalan, perilaku khas orang yang
kalah.
Aku tak marah. Sama sekali tidak. Agak cemas saja. Mudah-mudahan kau
tak pernah tahu, sementara menunggumu pulang, entah dari langit mana,
aku telah mandi hujan di mana-mana. Kau sepertinya lupa, dari dulu aku
memang paling suka menari di bawah hujan, tentu saja tanpa sehelaipun
pakaian…
Sini gerimisku yang lucu, cepat basahi aku… Bukankah bagimu aku terlihat begitu kemarau?
0 komentar on "Pergilah Seperti Uap, Karena Kutau Kau Akan Kembali Sebagai Hujan "
Posting Komentar