Katanya "Biarkan saja, ntar juga berhenti sendiri ketika apa yang dia maui dari gue sudah gak ada lagi."
Dan
memang benar, satu persatu parasit itu pergi. Tinggal inangnya yang
masih mencoba merasa cantik, baik, dan berpengharapan besar ke masa
depan.
Balik ke mati rasa.
Teman gue yang suka galau itu datang dengan muka lesu dan kusut.
"Bisa gak sih lo bayangin gimana rasa lo ketika hal yang paling primitif
(menjiplak istilah pramudya) ditangkis mentah-mentah oleh orang yang
harusnya memodernkannya? Itu baru aja terjadi pada gue. Dan rasanya,
harga diri ini terjun ke strata paling bawah."
Gue cuma bengong saja ketika melihatnya nyerocos tanpa henti.
"Rasanya,
rasanya sudah gak bisa merasakan apa-apa lagi. Mati rasa. Belum..,
sepertinya mau mati rasa! Sengatan listrik sudah mulai tak berasa!"
Gue semakin bengong. Bingung. Mungkin teman gue ini kesurupan pohon mangga
depan rumah. Pembicaraannya sama sekali tidak bisa gue tangkap. Meskipun begitu, gue tetap takjub melihatnya bercerita.
"Sepertinya
gue ingin mati rasa. Biar tidak lagi merasakan sakitnya dibanting ke
jurang oleh orang yang gue anggap penting. Sungguh baru sadar, ternyata
gue ini hanya sebagai pelengkap obyek penderita."
Oo... baru mengerti gue maksud teman gue itu. Dengan perasaaan penuh kharisma dan wibawa, gue pun memberikan saran kepadanya.
"Emang gak salah lo pengin mati rasa, lha hidup cuma berisi dia dia dia saja. Gue paham. Cuma janganlah pilih hal itu. Ya..
paling banter merasa MENUJU mati rasa lah. Tapi kalau lo tetap
berprinsip begitu ya monggo, gue pikir lo mendingan MATI SAJA. Toh sama
saja artinya."
Teman gue tiba-tiba berubah raut mukanya.
"Benar lo bilang. Sebaiknya memang dia yang mati saja!"
Nah lhoo....
Kok jadi gini.. -_______________-
0 komentar on "Obrolah Siang Bolong Tentang Mati Rasa"
Posting Komentar