Sepucuk Surat dari BERINGIN

Diposting oleh Unknown di Kamis, Februari 28, 2013

Teruntuk dinda,

Terimakasih padamu adinda. Adinda sayang. Hanya kamu yang peduli. Hanya kamu yg memperhatikanku. Namun dinda, aku ingin bercerita. Bercerita tentang hidupku, dinda. Kepedihan yang selama ini kupendam.


Aku terlahir ratusan tahun lalu. Aku masih sangat ingat. Ketika itu, aku hanya sebutir biji kecil. Aku hidup berdesakan dengan beberapa saudaraku. Aku senang, dinda. Aku mempunyai banyak teman. Namun dinda, suatu hari ada bencana. Angin kencang, merubuhkan indukku. Bibirku membisu, dinda. Aku melihat indukku. Saudara saudaraku, menangis. Aku tahu kita tak mungkin dapat hidup seperti ini. Aku memutuskan melepas diri. Membiarkanku terhempas angin. Membawaku terbang jauh. Aku tak tahu kemana aku akan pergi. Aku pasrah, dinda. Aku hanya dapat berdoa. Setelah seminggu aku mengambang di udara, aku tiba. Di suatu tanah, tandus, kering. Aku lapar, aku haus. Namun, tak ada mineral disini dinda. Tak ada air, tak turun hujan. Aku harus tetap hidup, harus bertahan. Tiba tiba gerimis kecil datang. Aku sangat senang. Setidaknya, aku mempunyai energi untuk menunjamkan akarku di tanah makam ini.


Waktu berlalu, dinda. Aku menjadi pohon kecil, kerdil. Tanah di sebelahku berubah. Menjadi jalan setapak, dinda. Orang-orang sering lewat, berlalu. Tak jarang anak kecil memotong dahanku yg memang lemah utk bermain. Aku sangat lemah, dinda. Tak berdaya.


Waktu berlalu. Aku sudah cukup lebih besar dari sebelumnya. Kupikir manusia semakin berbeda. Semakin berubah. Mereka tak lagi berjalan. Mereka tak lagi berlelah-lelah. Mereka menggunakan kendaraan. Mereka mengendarai motor, mobil. Mengeluarkan asap CO yang beracun. Membuatku bekerja lebih keras untuk mengubahnya menjadi oksigen. Tak hanya itu, dinda. Mereka merubah jalan setapak menjadi aspal. Aku kasihan. Melihat tanah menjerit kesakitan ketika tubuh mereka ditimpa aspal panas. Aku prihatin, dinda.


Aku sudah menjadi pohon dewasa sekarang. Aku besar, kokoh, dan kuat. Aku juga menyejukkan. Aku merasa hebat, dinda. Ada orang berseragam mendekatiku. Mendekati tanah yg kupijak. Mereka akan menjadikan tempat ini sekolah dinda, awal pertemuan kita. Proyek berjalan. Aku senang melihat para tukang. Mereka mengecor semen, membuat bangunan megah itu. Kadang bila mereka kelelahan, mereka beristirahat di bawahku. Aku senang bisa bermanfaat.


Aku sudah agak tua, dinda. Aku lelah, aku kepanasan. Bumi sangat panas. Aku sudah bosan pada anak anak sekolah itu. Mereka terus-terusan menggangguku. Mereka sering menyakitiku. Tapi dinda, kamu masih ingat? Kamu menolongku. Kamu menghajar mereka dengan satu kepalan tanganmu. Hingga mereka lari terbirit-birit. Tak berani lagi mendatangiku. Adinda, aku ingat tatapan matamu yg bulat itu. Suara lembutmu yg bertanya "pohon, kamu tidak apa apa?". Aku senang dinda. Kamu orang pertama yg membuatku ada. Orang pertama yg percaya bahwa aku punya nyawa. Keesokan harinya, kamu datang lagi. Membawa setumpuk buku di tangan. Menghampiriku, duduk bersandar di batangku. Aku mencuri dengar. Kamu seperti pusing mengerjakan tugas. Aku tak dapat membantu. Aku hanya dapat mengayunkan dahanku perlahan, agar kamu merasa sejuk. Kamu tersenyum, dan mengucapkan "terimakasih". Kamu selalu datang, dinda. Membawa buku, duduk bersandar di batang. Aku sering mengintip buku yg kamu baca. Aku jadi membaca buku yg sama denganmu.


Suatu hari, di musim peralihan. Angin kencang dan hujan datang silih berganti. Pihak sekolah takut, dinda. Takut aku rubuh. Takut aku merusak bangunan gagah mereka. Mereka memutuskan menebangku. Namun, saat saat mesin gergaji itu hendak memotong tubuhku. Kamu datang adinda, kamu datang. Kamu menangis, berteriak. Meminta mereka berhenti. Berusaha mencari bantuan. Menjelaskan alasan agar aku tak ditebang. Berusaha membuat mereka mengerti, bahwa aku yg mengurangi polusi. Bahwa aku yg membuat udara sejuk. Kamu berdiri ber jam jam. Aku takjub, dinda. Akhirnya mereka menyerah. Meninggalkan kita berdua di tengah langit sore.


Hari ini berbeda. Banyak wali murid yang datang. Banyak siswa yg memakai kebaya. Kamu juga, memakai kebaya hijau muda. Sangat mempesona. Berlari menuju kearahku. Mengajak seseorang, ayahmu. Ayahmu menatapku takjub, sama sepertimu dulu. "dinda, kamu benar. Pohon ini hebat.". Ayahmu tersenyum, sama sepertimu. Aku melihat matamu, berkaca-kaca. Andai aku dapat bergerak, dinda. Aku ingin menghapus air matamu. Kamu berlari, memelukku. Aku tak mengerti, ada apa denganmu. "pohon, aku lulus. Nilaiku bagus. Aku senang, pohon. Namun, aku harus pergi. Kita harus berpisah", ujarmu terisak. Aku sedih, dinda. Harus berpisah denganmu. Merelakanmu pergi seperti ini.


Puluhan tahun berlalu. Aku tua, sangat tua. Daun-daunku berguguran sangat banyak. Membuat tukang kebun sekolah kerepotan dengan tingkahku. Dahanku semakin rapuh, dinda. Berkali kali jatuh menimpa genting sekolah. Kamu tak pernah kesini lagi. Lihat manusia itu, dinda. Mereka tak membutuhkanku lagi. Mereka memiliki AC. Ya dinda, setiap kelas terpasang AC sekarang. AC lebih menyejukkan daripada aku. Aku hanya seonggok sampah sekarang. Mereka hendak menebangku, lagi. Aku tak mampu berbuat apa-apa, dinda. Kamu tak ada di sini. Kamu sudah pergi. Aku pasrah, dinda. Aku melihat wajah mereka. Wajah kesal mereka. Sepertinya aku memang biang masalah disini. Aku takut mendengar desingan mesin itu. Merasakan sakitnya gergaji merobek dan memotong tubuhku. Aku jatuh, tak berdaya. Aku melihat wajah mereka. Tersenyum puas. Aku menangis. Aku hanya dapat berdoa, semoga Tuhan memaafkan mereka. Aku memejamkan mata, untuk selama-lamanya.


Salam, pohon beringin

0 komentar on "Sepucuk Surat dari BERINGIN"

Posting Komentar

Kamis, 28 Februari 2013

Sepucuk Surat dari BERINGIN


Teruntuk dinda,

Terimakasih padamu adinda. Adinda sayang. Hanya kamu yang peduli. Hanya kamu yg memperhatikanku. Namun dinda, aku ingin bercerita. Bercerita tentang hidupku, dinda. Kepedihan yang selama ini kupendam.


Aku terlahir ratusan tahun lalu. Aku masih sangat ingat. Ketika itu, aku hanya sebutir biji kecil. Aku hidup berdesakan dengan beberapa saudaraku. Aku senang, dinda. Aku mempunyai banyak teman. Namun dinda, suatu hari ada bencana. Angin kencang, merubuhkan indukku. Bibirku membisu, dinda. Aku melihat indukku. Saudara saudaraku, menangis. Aku tahu kita tak mungkin dapat hidup seperti ini. Aku memutuskan melepas diri. Membiarkanku terhempas angin. Membawaku terbang jauh. Aku tak tahu kemana aku akan pergi. Aku pasrah, dinda. Aku hanya dapat berdoa. Setelah seminggu aku mengambang di udara, aku tiba. Di suatu tanah, tandus, kering. Aku lapar, aku haus. Namun, tak ada mineral disini dinda. Tak ada air, tak turun hujan. Aku harus tetap hidup, harus bertahan. Tiba tiba gerimis kecil datang. Aku sangat senang. Setidaknya, aku mempunyai energi untuk menunjamkan akarku di tanah makam ini.


Waktu berlalu, dinda. Aku menjadi pohon kecil, kerdil. Tanah di sebelahku berubah. Menjadi jalan setapak, dinda. Orang-orang sering lewat, berlalu. Tak jarang anak kecil memotong dahanku yg memang lemah utk bermain. Aku sangat lemah, dinda. Tak berdaya.


Waktu berlalu. Aku sudah cukup lebih besar dari sebelumnya. Kupikir manusia semakin berbeda. Semakin berubah. Mereka tak lagi berjalan. Mereka tak lagi berlelah-lelah. Mereka menggunakan kendaraan. Mereka mengendarai motor, mobil. Mengeluarkan asap CO yang beracun. Membuatku bekerja lebih keras untuk mengubahnya menjadi oksigen. Tak hanya itu, dinda. Mereka merubah jalan setapak menjadi aspal. Aku kasihan. Melihat tanah menjerit kesakitan ketika tubuh mereka ditimpa aspal panas. Aku prihatin, dinda.


Aku sudah menjadi pohon dewasa sekarang. Aku besar, kokoh, dan kuat. Aku juga menyejukkan. Aku merasa hebat, dinda. Ada orang berseragam mendekatiku. Mendekati tanah yg kupijak. Mereka akan menjadikan tempat ini sekolah dinda, awal pertemuan kita. Proyek berjalan. Aku senang melihat para tukang. Mereka mengecor semen, membuat bangunan megah itu. Kadang bila mereka kelelahan, mereka beristirahat di bawahku. Aku senang bisa bermanfaat.


Aku sudah agak tua, dinda. Aku lelah, aku kepanasan. Bumi sangat panas. Aku sudah bosan pada anak anak sekolah itu. Mereka terus-terusan menggangguku. Mereka sering menyakitiku. Tapi dinda, kamu masih ingat? Kamu menolongku. Kamu menghajar mereka dengan satu kepalan tanganmu. Hingga mereka lari terbirit-birit. Tak berani lagi mendatangiku. Adinda, aku ingat tatapan matamu yg bulat itu. Suara lembutmu yg bertanya "pohon, kamu tidak apa apa?". Aku senang dinda. Kamu orang pertama yg membuatku ada. Orang pertama yg percaya bahwa aku punya nyawa. Keesokan harinya, kamu datang lagi. Membawa setumpuk buku di tangan. Menghampiriku, duduk bersandar di batangku. Aku mencuri dengar. Kamu seperti pusing mengerjakan tugas. Aku tak dapat membantu. Aku hanya dapat mengayunkan dahanku perlahan, agar kamu merasa sejuk. Kamu tersenyum, dan mengucapkan "terimakasih". Kamu selalu datang, dinda. Membawa buku, duduk bersandar di batang. Aku sering mengintip buku yg kamu baca. Aku jadi membaca buku yg sama denganmu.


Suatu hari, di musim peralihan. Angin kencang dan hujan datang silih berganti. Pihak sekolah takut, dinda. Takut aku rubuh. Takut aku merusak bangunan gagah mereka. Mereka memutuskan menebangku. Namun, saat saat mesin gergaji itu hendak memotong tubuhku. Kamu datang adinda, kamu datang. Kamu menangis, berteriak. Meminta mereka berhenti. Berusaha mencari bantuan. Menjelaskan alasan agar aku tak ditebang. Berusaha membuat mereka mengerti, bahwa aku yg mengurangi polusi. Bahwa aku yg membuat udara sejuk. Kamu berdiri ber jam jam. Aku takjub, dinda. Akhirnya mereka menyerah. Meninggalkan kita berdua di tengah langit sore.


Hari ini berbeda. Banyak wali murid yang datang. Banyak siswa yg memakai kebaya. Kamu juga, memakai kebaya hijau muda. Sangat mempesona. Berlari menuju kearahku. Mengajak seseorang, ayahmu. Ayahmu menatapku takjub, sama sepertimu dulu. "dinda, kamu benar. Pohon ini hebat.". Ayahmu tersenyum, sama sepertimu. Aku melihat matamu, berkaca-kaca. Andai aku dapat bergerak, dinda. Aku ingin menghapus air matamu. Kamu berlari, memelukku. Aku tak mengerti, ada apa denganmu. "pohon, aku lulus. Nilaiku bagus. Aku senang, pohon. Namun, aku harus pergi. Kita harus berpisah", ujarmu terisak. Aku sedih, dinda. Harus berpisah denganmu. Merelakanmu pergi seperti ini.


Puluhan tahun berlalu. Aku tua, sangat tua. Daun-daunku berguguran sangat banyak. Membuat tukang kebun sekolah kerepotan dengan tingkahku. Dahanku semakin rapuh, dinda. Berkali kali jatuh menimpa genting sekolah. Kamu tak pernah kesini lagi. Lihat manusia itu, dinda. Mereka tak membutuhkanku lagi. Mereka memiliki AC. Ya dinda, setiap kelas terpasang AC sekarang. AC lebih menyejukkan daripada aku. Aku hanya seonggok sampah sekarang. Mereka hendak menebangku, lagi. Aku tak mampu berbuat apa-apa, dinda. Kamu tak ada di sini. Kamu sudah pergi. Aku pasrah, dinda. Aku melihat wajah mereka. Wajah kesal mereka. Sepertinya aku memang biang masalah disini. Aku takut mendengar desingan mesin itu. Merasakan sakitnya gergaji merobek dan memotong tubuhku. Aku jatuh, tak berdaya. Aku melihat wajah mereka. Tersenyum puas. Aku menangis. Aku hanya dapat berdoa, semoga Tuhan memaafkan mereka. Aku memejamkan mata, untuk selama-lamanya.


Salam, pohon beringin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

♥ Diary Online ♥ Copyright 2011 My Sweet Blog kage Designed by Templates By Blogger Styles | Blogger Image by Tadpole's Notez