Pelangi Ini

Diposting oleh Unknown di Selasa, September 17, 2013


Ingat pelangi ini? Bercermin dan tersenyumlah.
Hari itu tidak hujan. Aku menengadahkan tangan untuk memastikan. Saat itu kamu datang menghampiriku. Langkah kakimu menggebu, seolah deretan kata dalam tenggorokanmu berdesakan ingin keluar. Terdorong barisan huruf membebani hati.
Aku tiup kursi usang penuh debu. Memastikannya cukup bersih untuk kamu duduki beserta bebanmu. Aku seketika mengubah diriku menjadi telinga. Aku berikan untukmu.
Semua gundah kamu lontarkan dalam bentuk frasa, kalimat, cerita. Tentangnya. Aku membaca petir di matamu. Akhirnya hujan turun. Aku menengadahkan tangan lagi ke langit, masih sama, langit masih ceria. Aku menengadahkan tangan ke pipimu, hujan air mata deras berjatuhan.
Aku sentuh pipi yang basah itu, hanya memastikan aku cukup basah untuk kehujanan di sana, bersamamu. Aku ulurkan tanganku. Kugapai tanganmu. Genggamanku tak sehangat sweater hasil rajutan nenek. Aku berusaha menyalakan tungku api di hatimu, dengan mengatakan, “Ada aku. Semuanya akan baik-baik saja,” lalu tersenyum.
Selengkung pelangi itu muncul. Setelah badai air mata, titik airnya disinari sorot mata cerahmu yang kembali benderang. Aku tak melihat hanya sekadar tujuh warna di sana. Jutaan? Ya, kalau aku tak buta warna.

0 komentar on "Pelangi Ini "

Posting Komentar

Selasa, 17 September 2013

Pelangi Ini


Ingat pelangi ini? Bercermin dan tersenyumlah.
Hari itu tidak hujan. Aku menengadahkan tangan untuk memastikan. Saat itu kamu datang menghampiriku. Langkah kakimu menggebu, seolah deretan kata dalam tenggorokanmu berdesakan ingin keluar. Terdorong barisan huruf membebani hati.
Aku tiup kursi usang penuh debu. Memastikannya cukup bersih untuk kamu duduki beserta bebanmu. Aku seketika mengubah diriku menjadi telinga. Aku berikan untukmu.
Semua gundah kamu lontarkan dalam bentuk frasa, kalimat, cerita. Tentangnya. Aku membaca petir di matamu. Akhirnya hujan turun. Aku menengadahkan tangan lagi ke langit, masih sama, langit masih ceria. Aku menengadahkan tangan ke pipimu, hujan air mata deras berjatuhan.
Aku sentuh pipi yang basah itu, hanya memastikan aku cukup basah untuk kehujanan di sana, bersamamu. Aku ulurkan tanganku. Kugapai tanganmu. Genggamanku tak sehangat sweater hasil rajutan nenek. Aku berusaha menyalakan tungku api di hatimu, dengan mengatakan, “Ada aku. Semuanya akan baik-baik saja,” lalu tersenyum.
Selengkung pelangi itu muncul. Setelah badai air mata, titik airnya disinari sorot mata cerahmu yang kembali benderang. Aku tak melihat hanya sekadar tujuh warna di sana. Jutaan? Ya, kalau aku tak buta warna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

♥ Diary Online ♥ Copyright 2011 My Sweet Blog kage Designed by Templates By Blogger Styles | Blogger Image by Tadpole's Notez