PRIA DALAM PELUKKU :)
Dia selalu memelukku seperti ini. Dengan lengan yang begitu lekat dan
hangat, sampai bibirku tak mampu lagi ceritakan luka yang kurasakan.
Pelukan itu menjalar hingga ke sudut-sudut hati yang sempat dingin oleh
pengabaiannya. Ia mengecup puncak kepalaku dengan lembut berkali-kali,
dan kala itu aku hanya terdiam; tak banyak bicara- karena pelukan sudah
jelaskan segalanya. Tentu saja tak ada lagi air mata, karena desah
napasnya yang sejak tadi berembus menyentuh rambutku... benar-benar
membuatku terasa aman dan terlindungi; walau hanya detik saja, aku
benar-benar merasa bahagia.
Di malam sedingin ini, saat dia semakin eratkan peluknya, lagi-lagi dia
bercerita tentang kita. Kita yang selalu saja terlupakan olehnya, kita
yang sebenarnya tak pernah ada, kita yang sebabkan luka namun tak ingin
mengobatinya bersama-sama. Aku tak banyak berkomentar, ketika tawa
renyahnya kembali mereka-reka bayang semu. Kubayangkan tubuhnya yang tak
akan pernah jauh dari pandangan. Kudekap hangat dadanya, tenggelam
sangat lama di sana. Sayangnya, hanya bayangan yang tak akan mencapai
kenyataan.
Aku menengadahkan wajah, menatap matanya dalam-dalam. Tak kutemukan
cahaya di mata itu, hanya kekosongan, juga kegelapan. Apa yang
kuharapkan dari sosok yang tak pernah berikan aku jawaban?
Kuberanikan diri menjauh, membenarkan posisi tidurku. Ia memasang wajah
bingung ketika tubuhku tak lagi lekat dengan tubuhnya. Aku berbalik
badan, ia bergerak cepat; memelukku dari belakang.
"Ada apa?"
"Ada apa? Harusnya aku yang bertanya."
"Ada nada menyebalkan dalam ucapanmu."
"Kenapa baru datang?"
Dia terdiam. Selalu saja terdiam, tak bisa memberi tanggapan.
"Salahkah jika aku bertanya? Ke mana saja selama ini?"
"Aku baru punya waktu saat ini. Maafkan aku..."
"Maaf yang kesekian kali!"
"Kali ini yang terakhir."
"Kalimat itu sudah kauucapkan saat terakhir kita bertemu. Sebulan yang lalu!"
Dia melepaskan peluknya, dan menjauhi tubuhku. Aku menarik selimut,
karena ternyata malam semakin dingin dan nyatanya ia tak lagi memelukku.
Jemariku kuat-kuat memeluk guling, berusaha mencari kekuatan di sana;
dan seseorang di sampingku masih terdiam... sedang berdialog dengan kata
hatinya sendiri.
"Harusnya, kau tak perlu datang jika untuk pergi lebih lama lagi."
Tiba-tiba, ia memeluk tubuhku lebih kencang dari belakang. Menggelitiki
tengkuk leherku dengan sangat bringas. Aku berbalik ke arahnya, dan
membiarkan bibirnya menyesap bibirku. Kupejamkan mata, dan kubiarkan
lidahnya menari-nari di lidahku. Kubiarkan ia tenggelam lebih lama,
dalam pejaman mata, tanpa kata, cukup dengan sentuhan- kita benar-benar
menyatu. Sejauh ini, itulah yang kurasakan, meskipun ia tak pernah
benar-benar tinggal.
Ia tak lagi melumat bibirku, ia letakkan rasa lelahnya dengan memelukku.
Aku merancau, berkata-kata dengan cepat, tak peduli dia menyimak
perkataanku atau hanya sekadar mendengarkan dan menganggapnya angin
lalu.
Tak ada jawaban dari keresahan yang kuungkapkan. Aku tahu, aku murahan.
Aku tak punya apapun yang pantas kubanggakan. Aku terlanjur hina. Semua
orang menganggapku sampah, tapi dia memandangku dari sisi berbeda; aku
jatuh cinta.
Dia satu-satunya yang menjadikanku berlian dalam kubangan. Ia mengubahku
menjadi bintang dalam dinginnya malam. Dia menemukanku dalam posisiku
yang terjatuh, terjungkal sangat dalam di jurang pelampiasan. Ia menarik
tanganku, memelukku dengan hangat- pelukan yang tak pernah kurasakan
sebelumnya. Akhirnya, ia memilikiku, walaupun aku tak bisa memiliki dia
seutuhnya.
"Jangan pergi." tangisku mengalir membasahi pipinya.
Terdiam. Dia sama sekali tak bereaksi.
"Jangan pergi. Tetaplah di sini." ulangku lebih keras lagi.
Ia masih terdiam, tak menjawab.
"Jangan pergi. Tetaplah di sini. Aku manusia yang paling butuh kamu."
Kueratkan pelukku, tangisku pecah di bahunya; namun ia tertidur pulas dalam pelukku.
Di ujung malam, mendekati pagi; dia akan pergi lagi. Menghampiri setumpuk pekerjaan dan masa depan yang ingin ia raih.
Aku sendiri.
Selamanya... :)
Pria dalam Pelukku
PRIA DALAM PELUKKU :)
Dia selalu memelukku seperti ini. Dengan lengan yang begitu lekat dan
hangat, sampai bibirku tak mampu lagi ceritakan luka yang kurasakan.
Pelukan itu menjalar hingga ke sudut-sudut hati yang sempat dingin oleh
pengabaiannya. Ia mengecup puncak kepalaku dengan lembut berkali-kali,
dan kala itu aku hanya terdiam; tak banyak bicara- karena pelukan sudah
jelaskan segalanya. Tentu saja tak ada lagi air mata, karena desah
napasnya yang sejak tadi berembus menyentuh rambutku... benar-benar
membuatku terasa aman dan terlindungi; walau hanya detik saja, aku
benar-benar merasa bahagia.
Di malam sedingin ini, saat dia semakin eratkan peluknya, lagi-lagi dia
bercerita tentang kita. Kita yang selalu saja terlupakan olehnya, kita
yang sebenarnya tak pernah ada, kita yang sebabkan luka namun tak ingin
mengobatinya bersama-sama. Aku tak banyak berkomentar, ketika tawa
renyahnya kembali mereka-reka bayang semu. Kubayangkan tubuhnya yang tak
akan pernah jauh dari pandangan. Kudekap hangat dadanya, tenggelam
sangat lama di sana. Sayangnya, hanya bayangan yang tak akan mencapai
kenyataan.
Aku menengadahkan wajah, menatap matanya dalam-dalam. Tak kutemukan
cahaya di mata itu, hanya kekosongan, juga kegelapan. Apa yang
kuharapkan dari sosok yang tak pernah berikan aku jawaban?
Kuberanikan diri menjauh, membenarkan posisi tidurku. Ia memasang wajah
bingung ketika tubuhku tak lagi lekat dengan tubuhnya. Aku berbalik
badan, ia bergerak cepat; memelukku dari belakang.
"Ada apa?"
"Ada apa? Harusnya aku yang bertanya."
"Ada nada menyebalkan dalam ucapanmu."
"Kenapa baru datang?"
Dia terdiam. Selalu saja terdiam, tak bisa memberi tanggapan.
"Salahkah jika aku bertanya? Ke mana saja selama ini?"
"Aku baru punya waktu saat ini. Maafkan aku..."
"Maaf yang kesekian kali!"
"Kali ini yang terakhir."
"Kalimat itu sudah kauucapkan saat terakhir kita bertemu. Sebulan yang lalu!"
Dia melepaskan peluknya, dan menjauhi tubuhku. Aku menarik selimut,
karena ternyata malam semakin dingin dan nyatanya ia tak lagi memelukku.
Jemariku kuat-kuat memeluk guling, berusaha mencari kekuatan di sana;
dan seseorang di sampingku masih terdiam... sedang berdialog dengan kata
hatinya sendiri.
"Harusnya, kau tak perlu datang jika untuk pergi lebih lama lagi."
Tiba-tiba, ia memeluk tubuhku lebih kencang dari belakang. Menggelitiki
tengkuk leherku dengan sangat bringas. Aku berbalik ke arahnya, dan
membiarkan bibirnya menyesap bibirku. Kupejamkan mata, dan kubiarkan
lidahnya menari-nari di lidahku. Kubiarkan ia tenggelam lebih lama,
dalam pejaman mata, tanpa kata, cukup dengan sentuhan- kita benar-benar
menyatu. Sejauh ini, itulah yang kurasakan, meskipun ia tak pernah
benar-benar tinggal.
Ia tak lagi melumat bibirku, ia letakkan rasa lelahnya dengan memelukku.
Aku merancau, berkata-kata dengan cepat, tak peduli dia menyimak
perkataanku atau hanya sekadar mendengarkan dan menganggapnya angin
lalu.
Tak ada jawaban dari keresahan yang kuungkapkan. Aku tahu, aku murahan.
Aku tak punya apapun yang pantas kubanggakan. Aku terlanjur hina. Semua
orang menganggapku sampah, tapi dia memandangku dari sisi berbeda; aku
jatuh cinta.
Dia satu-satunya yang menjadikanku berlian dalam kubangan. Ia mengubahku
menjadi bintang dalam dinginnya malam. Dia menemukanku dalam posisiku
yang terjatuh, terjungkal sangat dalam di jurang pelampiasan. Ia menarik
tanganku, memelukku dengan hangat- pelukan yang tak pernah kurasakan
sebelumnya. Akhirnya, ia memilikiku, walaupun aku tak bisa memiliki dia
seutuhnya.
"Jangan pergi." tangisku mengalir membasahi pipinya.
Terdiam. Dia sama sekali tak bereaksi.
"Jangan pergi. Tetaplah di sini." ulangku lebih keras lagi.
Ia masih terdiam, tak menjawab.
"Jangan pergi. Tetaplah di sini. Aku manusia yang paling butuh kamu."
Kueratkan pelukku, tangisku pecah di bahunya; namun ia tertidur pulas dalam pelukku.
Di ujung malam, mendekati pagi; dia akan pergi lagi. Menghampiri setumpuk pekerjaan dan masa depan yang ingin ia raih.
Aku sendiri.
Selamanya... :)
0 komentar on "Pria dalam Pelukku"
Posting Komentar